Sumber: Mercusuar News Indonesia
Menelusuri Sejarah Penamaan Bulukumba
*Phinisi Institute: Sejarahnya Tidak Benar dan Harus Diseminarkan Kembali.
"Penulisan teks sejarah penamaan Bulukumba dinilai keliru oleh beberapa akademisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) budaya asal Bulukumba. Dugaan tersebut sebaiknya menjadi kritik dan interupsi sosialitas bagi semua kalangan untuk mencari titik temu dan kesimpulan yang disepakati bersama di kemudian hari"
Tim Sisi Lain (TSL) Radar Bulukumba Belakangan ini, dihubungi banyak pihak dan mendiskusikan tentang sejarah Bulukumba, khususnya sejarah penamaan Bulukumba itu yang diduga keliru. TSL mencoba membuka ruang dan mengulas realitas dan pendapat berbagai kalangan terhadap persoalan ini, dengan mengedepankan asas keilmiahan bahwa, kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang tidak mutlak dan bisa berubah jika saja ada yang berhasil memberikan sebuah hipotesa baru dan tak terbantahkan di zamannya.
Sebagai bahan rujukan, TSL mencoba mengutip tentang Bulukumba dalam situs wikipedia, sebagi naskah rujukan tentang Bulukumba yang dijadikan sebagai landasan literal. Berikut ulasan tersebut.
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba mempunyai 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. Secara kewilayahan, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi, yakni dataran tinggi pada kaki Gunung Bawakaraeng – Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas.
Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian selatan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2 dengan jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km.
Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur.
Batas-batas wilayahnya adalah; Sebelah Utara adalah Kabupaten Sinjai, Sebelah Selatan adalah Laut Flores, Sebelah Timur adalah Teluk Bone dan Sebelah Barat adalah Kabupaten Bantaeng.
MITOLOGI penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu "Bulu’ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya". Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang bernama "Tana Kongkong", di situlah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki' (secara harfiah berarti kaki bukit) yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompobattang diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras memertahankan Bangkeng Buki' sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulu'kumupa" yang kemudian pada TINGKATAN DIALEK tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba". Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah nama kabupaten.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah.
Akhirnya, setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994.
Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.
Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali’ siparappe, Tallang sipahua." Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis – Makassar tersebut merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi "Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan dengan masyarakat Bulukumba."Berlayar", merupakan sebuah akronim dari kalimat kausalitas yang berbunyi "Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah". Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu sejarah, kebudayaan dan keagamaan.
Pijakan Sejarah (History)
Bulukumba lahir dari suatu proses perjuangan panjang yang mengorbankan harta, darah dan nyawa. Perlawanan rakyat Bulukumba terhadap kolonial Belanda dan Jepang menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 diawali dengan terbentuknya "barisan merah putih" dan "laskar brigade pemberontakan Bulukumba angkatan rakyat". Organisasi yang terkenal dalam sejarah perjuangan ini, melahirkan pejuang yang berani mati menerjang gelombang dan badai untuk merebut cita–cita kemerdekaan sebagai wujud tuntutan hak asasi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba
Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bulukumba Nomor: 13 Tahun 1987, maka ditetapkanlah Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba dengan makna sebagai berikut:
Hal yang tidak dianggap benar oleh banyak kalangan tersebut yang dihimpun oleh TSL adalah Mitologi seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kata Bulu' Kumupa yang merujuk kepada sebuah bukit yang bernama Bangkeng Buki' yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Gantarang.
Menurut pendapat yang dikumpulkan TSL dari akademisi dan LSM Budaya, itu adalah rujukan yang salah sebab, hampir semua orang yang ditanya bahwa bukit yang sengketakan dan menjadi batas Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang bersengketa itu merujuk kepada sebuah bukit yang bernama Bukit Karang-Puang yang terletak di Kecamatan Bulukumpa.
Selain itu, Salah satu kampung di Kecamatan Bulukumpa, ada yang disebut dengan Bulukumpa Toa. yang artinya Bulukumpa Tua. Sehingga pergeseran kata Bulu'kumupa menjadi Bulukumba dinilai oleh sumber TSL tidak bisa menjadi dasar. Sebab, seandainya ada Bulukumpa lain setelah Bulukumpa dan Bulukumpa Toa, maka itu hanya akan disebut sebagai Bulukumpa Baru (kesimpulan sumber).
Bukan hanya itu, Sumber-sumber TSL juga menjelaskan bahwa teks yang selalu menjadi rujukan sejarah dan bereddar di Bulukumba hari ini adalah "Mitos Bulu'ku-mupa pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone," dianggap tidak berdasar. Hal tersebut dikarenakan bahwa di tahun abat tersebut sudah ada kata yang menuliskan kata yang mendekati kata Bulukumba. Seperti yang dikutip dari buku Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba" pada halaman 16, yang menuliskan bahwa ada sebuah surat yang berasal dari Benteng Kompeni di Bulukumba yang bertanggalkan 15 Maret 1778, yang menuliskan kata "BOLEKOMBA" pada baris ke 8 dan halaman 17 baris ke 3 yang menuliskan kata "BULEKOMBA".
Teks ini semakin memperkuat dugaan sumber TSL bahwa perubahan dialek dari kata Bulu'ku-mupa menjadi Bulukumba yang dimitoskan berasal dari abad ke 17, sangatlah tidak berdasar dan harus dihapuskan dalam naskah-naskah sejarah penamaan Bulukumba yang banyak beredar dan menjadi rujukan umum. Hal tersebut dianggap pentig demi meluruskan sejarah dan memberikan pemahaman sejarah yang benar kepada generasi Bulukumba di masa yang akan datang.
Sumber TSL juga menjelaskan bahwa dugaan perubahan dialek Bulu'kumupa menjadi Bulukumba tidak boleh hanya disebut "Dalam perubahan tingkat dialek tertentu" sehingga berubah menjadi Bulukumpa, tapi harus dibuktikan dengan ilmu linguistik. Sebab, jangan sampai hal tersebut hanya merupakan asumsi yang tidak berdasar pada fakta ilmiah.
Lebih jauh, Sumber TSL berharap bahwa, sejarah penamaan Bulukumba harus direkonstruksi kembali. Apalagi, naskah yang selama ini ada tersebut dianggap tidak kuat karena tidak memiliki landasan literal yang bisa membuktikan kebenarannya. Lebih jauh, Sumber tersebut juga menjelaskan bahwa, Hari Jadi Bulukumba yang ditetapkan pada tanggal 4 Februari setiap tahunnya, memang sudah benar secara administratif. Tapi, bulukumba secara historik sebagai sebuah daerah yang tua masih harus terus ditelusuri. Sebab, itu menyangkut kebenaran sejarah Bulukumba yang bukan hanya ada dan dirayakan setiap 4 Februari.
Sementara itu, A. Mahrus yang juga merupakan pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba, yang juga dianggap sebagai sosok yang selalu ditunjuk oleh publik Bulukumba sebagai sosok yang tahu dan menuliskan sejarah hari jadi Bulukumba, saat dihubungi TSL membenarkan bahwa, Bulukumba memang belum memiliki sejarah. Dan yang ada hanyalah sejarah hari jadi yang selama ini selalu diperingati.
Atas kenyataan tentang sejarah penamaan Bulukumba yang diduga janggal ini, LSM Phinisi Institute dan sumber lainnya melalui TSL berharap bahwa semoga Pemerintah Kabupaten Bulukumba punya keinginan untuk membuka ruang dan melakukan seminar untuk menelusuri Sejarah Bulukumba yang benar. (Identitas dan alamat sumber ada pada redaksi Harian radar Bulukumba). (Dhika/80)
Bulukumba adalah Sebuah Nama Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
Menelusuri Sejarah Penamaan Bulukumba
*Phinisi Institute: Sejarahnya Tidak Benar dan Harus Diseminarkan Kembali.
"Penulisan teks sejarah penamaan Bulukumba dinilai keliru oleh beberapa akademisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) budaya asal Bulukumba. Dugaan tersebut sebaiknya menjadi kritik dan interupsi sosialitas bagi semua kalangan untuk mencari titik temu dan kesimpulan yang disepakati bersama di kemudian hari"
Tim Sisi Lain (TSL) Radar Bulukumba Belakangan ini, dihubungi banyak pihak dan mendiskusikan tentang sejarah Bulukumba, khususnya sejarah penamaan Bulukumba itu yang diduga keliru. TSL mencoba membuka ruang dan mengulas realitas dan pendapat berbagai kalangan terhadap persoalan ini, dengan mengedepankan asas keilmiahan bahwa, kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang tidak mutlak dan bisa berubah jika saja ada yang berhasil memberikan sebuah hipotesa baru dan tak terbantahkan di zamannya.
Sebagai bahan rujukan, TSL mencoba mengutip tentang Bulukumba dalam situs wikipedia, sebagi naskah rujukan tentang Bulukumba yang dijadikan sebagai landasan literal. Berikut ulasan tersebut.
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Kota Bulukumba. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 1.154,67 km² dan berpenduduk sebanyak 394.757 jiwa (berdasarkan sensus penduduk 2010). Kabupaten Bulukumba mempunyai 10 kecamatan, 24 kelurahan, serta 123 desa. Secara kewilayahan, Kabupaten Bulukumba berada pada kondisi empat dimensi, yakni dataran tinggi pada kaki Gunung Bawakaraeng – Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas.
Kabupaten Bulukumba terletak di ujung bagian selatan ibu kota Propinsi Sulawesi Selatan, terkenal dengan industri perahu phinisi yang banyak memberikan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah. Luas wilayah Kabupaten Bulukumba 1.154,67 Km2 dengan jarak tempuh dari Kota Makassar sekitar 153 Km.
Secara geografis Kabupaten Bulukumba terletak pada koordinat antara 5°20” sampai 5°40” Lintang Selatan dan 119°50” sampai 120°28” Bujur Timur.
Batas-batas wilayahnya adalah; Sebelah Utara adalah Kabupaten Sinjai, Sebelah Selatan adalah Laut Flores, Sebelah Timur adalah Teluk Bone dan Sebelah Barat adalah Kabupaten Bantaeng.
MITOLOGI penamaan "Bulukumba", konon bersumber dari dua kata dalam bahasa Bugis yaitu "Bulu’ku" dan "Mupa" yang dalam bahasa Indonesia berarti "masih gunung milik saya atau tetap gunung milik saya". Mitos ini pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang bernama "Tana Kongkong", di situlah utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing.
Bangkeng Buki' (secara harfiah berarti kaki bukit) yang merupakan barisan lereng bukit dari Gunung Lompobattang diklaim oleh pihak Kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya mulai dari Kindang sampai ke wilayah bagian timur. Namun pihak Kerajaan Bone berkeras memertahankan Bangkeng Buki' sebagai wilayah kekuasaannya mulai dari barat sampai ke selatan.
Berawal dari peristiwa tersebut kemudian tercetuslah kalimat dalam bahasa Bugis "Bulu'kumupa" yang kemudian pada TINGKATAN DIALEK tertentu mengalami perubahan proses bunyi menjadi "Bulukumba". Konon sejak itulah nama Bulukumba mulai ada dan hingga saat ini resmi menjadi sebuah nama kabupaten.
Peresmian Bulukumba menjadi sebuah nama kabupaten dimulai dari terbitnya Undang–Undang Nomor 29 Tahun 1959, tentang Pembentukan Daerah–daerah Tingkat II di Sulawesi yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor 5 Tahun 1978, tentang Lambang Daerah.
Akhirnya, setelah dilakukan seminar sehari pada tanggal 28 Maret 1994 dengan narasumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), maka ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba, yaitu tanggal 4 Februari 1960 melalui Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 1994.
Secara yuridis formal Kabupaten Bulukumba resmi menjadi daerah tingkat II setelah ditetapkan Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba oleh DPRD Kabupaten Bulukumba pada tanggal 4 Februari 1960 dan selanjutnya dilakukan pelantikan bupati pertama, yaitu Andi Patarai pada tanggal 12 Februari 1960.
Paradigma kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan memberikan nuansa moralitas dalam sistem pemerintahan yang pada tatanan tertentu menjadi etika bagi struktur kehidupan masyarakat melalui satu prinsip "Mali’ siparappe, Tallang sipahua." Ungkapan yang mencerminkan perpaduan dari dua dialek bahasa Bugis – Makassar tersebut merupakan gambaran sikap batin masyarakat Bulukumba untuk mengemban amanat persatuan di dalam mewujudkan keselamatan bersama demi terciptanya tujuan pembangunan lahir dan batin, material dan spiritual, dunia dan akhirat.
Nuansa moralitas ini pula yang mendasari lahirnya slogan pembangunan "Bulukumba Berlayar" yang mulai disosialisasikan pada bulan September 1994 dan disepakati penggunaannya pada tahun 1996. Konsepsi "Berlayar" sebagai moral pembangunan lahir batin mengandung filosofi yang cukup dalam serta memiliki kaitan kesejarahan, kebudayaan dan keagamaan dengan masyarakat Bulukumba."Berlayar", merupakan sebuah akronim dari kalimat kausalitas yang berbunyi "Bersih Lingkungan, Alam Yang Ramah". Filosofi yang terkandung dalam slogan tersebut dilihat dari tiga sisi pijakan, yaitu sejarah, kebudayaan dan keagamaan.
Pijakan Sejarah (History)
Bulukumba lahir dari suatu proses perjuangan panjang yang mengorbankan harta, darah dan nyawa. Perlawanan rakyat Bulukumba terhadap kolonial Belanda dan Jepang menjelang Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1945 diawali dengan terbentuknya "barisan merah putih" dan "laskar brigade pemberontakan Bulukumba angkatan rakyat". Organisasi yang terkenal dalam sejarah perjuangan ini, melahirkan pejuang yang berani mati menerjang gelombang dan badai untuk merebut cita–cita kemerdekaan sebagai wujud tuntutan hak asasi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba
Berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Kabupaten Bulukumba Nomor: 13 Tahun 1987, maka ditetapkanlah Lambang Daerah Kabupaten Bulukumba dengan makna sebagai berikut:
- Perisai Persegi Lima. Melambangkan sikap batin masyarakat Bulukumba yang teguh memertahankan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.
- Padi dan Jagung. Melambangkan mata pencaharian utama dan merupakan makanan pokok masyarakat Bulukumba. Bulir padi sejumlah 17 bulir melambangkan tanggal 17 sebagai tanggal kemerdekaan RI. Daun jagung sejumlah 8 menandakan bulan Agustus sebagai bulan kemerdekaan RI. Kelopak buah jagung berjumlah 4 dan bunga buah jagung berjumlah 5 menandakan tahun 1945 sebagai tahun kemerdekaan RI.
- Perahu Phinisi sebagai salah satu mahakarya ciri khas masyarakat Bulukumba, yang dikenal sebagai "Butta Panrita Lopi" atau daerah bermukimnya orang yang ahli dalam membuat perahu.
- Layar perahu phinisi berjumlah 7 buah.
Melambangkan jumlah kecamatan yang ada di Kabupaten Bulukumba, tetapi sekarang sudah dimekarkan dari tujuh menjadi 10 kecamatan. - Tulisan aksara lontara di sisi perahu "Mali Siparappe, Tallang Sipahua". Mencerminkan perpaduan dari dua dialek Bugis-Makassar yang melambangkan persatuan dan kesatuan dua suku besar yang ada di Kabupaten Bulukumba.
- Dasar Biru mencerminkan bahwa Kabupaten Bulukumba merupakan daerah maritim.
Hal yang tidak dianggap benar oleh banyak kalangan tersebut yang dihimpun oleh TSL adalah Mitologi seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kata Bulu' Kumupa yang merujuk kepada sebuah bukit yang bernama Bangkeng Buki' yang kini masuk dalam wilayah Kecamatan Gantarang.
Menurut pendapat yang dikumpulkan TSL dari akademisi dan LSM Budaya, itu adalah rujukan yang salah sebab, hampir semua orang yang ditanya bahwa bukit yang sengketakan dan menjadi batas Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang bersengketa itu merujuk kepada sebuah bukit yang bernama Bukit Karang-Puang yang terletak di Kecamatan Bulukumpa.
Selain itu, Salah satu kampung di Kecamatan Bulukumpa, ada yang disebut dengan Bulukumpa Toa. yang artinya Bulukumpa Tua. Sehingga pergeseran kata Bulu'kumupa menjadi Bulukumba dinilai oleh sumber TSL tidak bisa menjadi dasar. Sebab, seandainya ada Bulukumpa lain setelah Bulukumpa dan Bulukumpa Toa, maka itu hanya akan disebut sebagai Bulukumpa Baru (kesimpulan sumber).
Bukan hanya itu, Sumber-sumber TSL juga menjelaskan bahwa teks yang selalu menjadi rujukan sejarah dan bereddar di Bulukumba hari ini adalah "Mitos Bulu'ku-mupa pertama kali muncul pada abad ke–17 Masehi ketika terjadi perang saudara antara dua kerajaan besar di Sulawesi yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone," dianggap tidak berdasar. Hal tersebut dikarenakan bahwa di tahun abat tersebut sudah ada kata yang menuliskan kata yang mendekati kata Bulukumba. Seperti yang dikutip dari buku Spektrum Sejarah Budaya dan Tradisi Bulukumba" pada halaman 16, yang menuliskan bahwa ada sebuah surat yang berasal dari Benteng Kompeni di Bulukumba yang bertanggalkan 15 Maret 1778, yang menuliskan kata "BOLEKOMBA" pada baris ke 8 dan halaman 17 baris ke 3 yang menuliskan kata "BULEKOMBA".
Teks ini semakin memperkuat dugaan sumber TSL bahwa perubahan dialek dari kata Bulu'ku-mupa menjadi Bulukumba yang dimitoskan berasal dari abad ke 17, sangatlah tidak berdasar dan harus dihapuskan dalam naskah-naskah sejarah penamaan Bulukumba yang banyak beredar dan menjadi rujukan umum. Hal tersebut dianggap pentig demi meluruskan sejarah dan memberikan pemahaman sejarah yang benar kepada generasi Bulukumba di masa yang akan datang.
Sumber TSL juga menjelaskan bahwa dugaan perubahan dialek Bulu'kumupa menjadi Bulukumba tidak boleh hanya disebut "Dalam perubahan tingkat dialek tertentu" sehingga berubah menjadi Bulukumpa, tapi harus dibuktikan dengan ilmu linguistik. Sebab, jangan sampai hal tersebut hanya merupakan asumsi yang tidak berdasar pada fakta ilmiah.
Lebih jauh, Sumber TSL berharap bahwa, sejarah penamaan Bulukumba harus direkonstruksi kembali. Apalagi, naskah yang selama ini ada tersebut dianggap tidak kuat karena tidak memiliki landasan literal yang bisa membuktikan kebenarannya. Lebih jauh, Sumber tersebut juga menjelaskan bahwa, Hari Jadi Bulukumba yang ditetapkan pada tanggal 4 Februari setiap tahunnya, memang sudah benar secara administratif. Tapi, bulukumba secara historik sebagai sebuah daerah yang tua masih harus terus ditelusuri. Sebab, itu menyangkut kebenaran sejarah Bulukumba yang bukan hanya ada dan dirayakan setiap 4 Februari.
Sementara itu, A. Mahrus yang juga merupakan pejabat di lingkup Pemerintah Kabupaten Bulukumba, yang juga dianggap sebagai sosok yang selalu ditunjuk oleh publik Bulukumba sebagai sosok yang tahu dan menuliskan sejarah hari jadi Bulukumba, saat dihubungi TSL membenarkan bahwa, Bulukumba memang belum memiliki sejarah. Dan yang ada hanyalah sejarah hari jadi yang selama ini selalu diperingati.
Atas kenyataan tentang sejarah penamaan Bulukumba yang diduga janggal ini, LSM Phinisi Institute dan sumber lainnya melalui TSL berharap bahwa semoga Pemerintah Kabupaten Bulukumba punya keinginan untuk membuka ruang dan melakukan seminar untuk menelusuri Sejarah Bulukumba yang benar. (Identitas dan alamat sumber ada pada redaksi Harian radar Bulukumba). (Dhika/80)
Bulukumba adalah Sebuah Nama Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan
4 komentar:
ohhh begitu rupanya....
btw apa bung syarif masih sibuk? klo sdah ga sibuk apa bisa kolom buku tamu di KAM di perbaiki? soalnya udah ga berfungsi ..
makasih sebelumnya
Info yang sangat menarik thanks dah share
Sejarah bulukumba memang seharusnya diperjelas kanda, biar kita sebagai warga bulukumba tahu persis seperti apa sejarah terbentuknya nama bulukumba. Makasih infonya kanda.
jujur sy org bulukumba, tp msh awam ttg sejarah kota ini
Silahkan berkomentar dengan bijak sesuai tema tulisan. Gunakan Name/URL untuk memudahkan saya merespon komentar Anda.